Alkisah ada tiga pengembara, yang dalam perjalanannya singgah di
sebuah kota. Warga kota itu tak pernah bergembira, sebab mereka hidup
dengan sangat mementingkan diri sendiri. Mereka mengerjakan segala
sesuatu sendiri dan untuk dirinya sendiri. Selain itu, mereka suka
mencurigai semua orang. Termasuk kepada tiga pengembara kelaparan yang
duduk di tengah alun-alun kota mereka. Tiga pengembara itu membuat api
lalu merebus sebuah batu. “Apa yang kaubuat?” tanya seorang anak yang
lewat. “Kami membuat sup batu yang sangat enak, ” kata si pengembara,
“tetapi akan jauh lebih enak jika ditambah sesiung kecil bawang, ”
lanjutnya. Anak itu pun berlari dan mengambilkan bawang. Orang-orang
kota itu mulai penasaran. Mereka mengintip dan menengok satu per satu.
“Sup ini akan jauh lebih enak jika ditambah wortel dan tomat. Seiris
kecil daging juga membuat rasanya jauh lebih baik.” Didorong oleh rasa
ingin tahu yang kuat, mereka membawakan satu per satu bahan yang
disebut para pengembara. Alhasil, jadilah sup yang enak (tentu setelah
batunya dibuang) dan penduduk kota ikut menikmatinya. Untuk pertama
kalinya penduduk kota itu meniadakan rasa curiga dan mengalami
indahnya hidup berbagi dalam kebersamaan. Pemazmur menyebutkan betapa
baiknya apabila kita hidup bersama dengan rukun. Tidak cuma berarti
tinggal bersama-sama, tetapi saling menerima dan saling berbagi dalam
kasih. Hidup rukun tanpa prasangka, yang menghalangi interaksi dengan
sesama. Hidup harmonis ini bukan saja mendatangkan kebahagiaan bagi
kita, melainkan juga bagi Allah. Seperti kata pemazmur, “… sebab ke
sanalah Tuhan memerintahkan berkat …” –SL

Image
ORANG YANG SELALU MENARUH CURIGA MEMBATASI DIRINYA UNTUK BAHAGIA

e-RH Situs: http://renunganharian.net/utama.php?tanggalnya=2010-08-26
e-RH arsip web: http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/2010/08/26/